Titik seimbang

Jam menunjukkan pukul 03:15 dan saya belum terlelap. Bukan terbangun, tapi memang belum memutuskan untuk tidur. Tiada hal istimewa yang membuat saya terjaga hingga detik ini, bukan kegelisahan, bukan pula keinginan untuk menengok sebentar ke belakang (mengingat kata galau tetap ada di salah satu kolom kesia-siaan dalam hidup saya). Ini hanya murni sisa-sisa keterjagaan saya yang kini tak mampu lagi menarik batas antara malam dan pagi, antara lelah dan gairah.

Saya menyadari, ternyata manusia memiliki titik paling pas, mendekati seimbang, dan nyaris sempurna dalam dirinya. Perjumpaan dan perjuangan menjadi energi yang menarik-ulur, membolak-balik, dan mengobrak-abrik titik seimbang itu. Ia mampu berada di seluruh penjuru grafik kehidupan, kadang pula posisinya tak bernilai, nihil, sepadan dengan titik nol, segaris dengan sumbu x dan y.

Titik seimbang itu membuat kita mengerti bahwa kodrat manusia ialah memberi dan menerima. Tidak egois pada sekeliling namun juga tidak menjajah diri sendiri. Ia mengerti bagaimana memberi diri sepenuhnya dan menghayati hak secara baik. Titik seimbang itu sanggup menjadi terminal bagi garis-garis interaksi yang melesat tak terhingga, membawa kita mengerti mana garis atas dan garis bawah, mana garis utuh dan patah-patah, serta mana garis nyata dan garis semu. (mana kawan sejati dan mana tamu, mana masa lalu dan masa depan).

Banyak diksi yang membungkus relasi kita sehari-hari. Ada kawan, rekan, sahabat, keluarga, bahkan sekutu.

Saya pun memiliki dan mengamini diksi yang bahkan saya nikmati hari-hari kemarin.

Namun kadangkala, sekali lagi, titik seimbang itu mampu menjungkir-balikkan seluruhnya. Sekutu mampu menjadi tamu yang semula datang dengan visi dan misi yang hendak ditujukkan, namun ketika perbincangan lebih dari sekedar duduk manis dengan suguhan kopi dan wafer, ia beralih haluan menjadi rekan yang tak pula lebih dari sebatas kawan.

Namun ada pula sebaliknya, yang lebih lucu dari esensi titik seimbang ini, ketika sebuah keterikatan terbungkus diksi 'keluarga' atau 'sahabat' padahal kita tak lebih dari sekedar rekan yang ada dalam satu masa perpanjangan, masing-masing menyimpan sumbu dalam diri kita yang masih terlalu sensitif pada energi, hingga saat dingin atau panas tiba, kita bisa sama-sama membeku atau membakar satu sama lain.

(Ingat bahwa kekekalan sebuah keterikatan ada di tangan masa dan bertumbuh sesuai logika waktu. Diksi hanya unsur dari titik keseimbangan itu, yang sewaktu-waktu mampu menanggalkan jubahnya sendiri dan memilih telanjang).

Namun meski demikian, tak perlu menganggap serius segala yang lucu, dan tak perlu menganggap lucu apa yang memberi dirinya hadir sebagai sebuah keputusan final; sebuah keseriusan.

Saya akan selesai, sebentar lagi, bergurau di dini hari tentang titik seimbang yang saya miliki.

Saya bersyukur sebab hingga saat ini, masih ada manusia-manusia yang membuat saya seimbang antara mendengar dan didengar. Mereka tak melulu menuntut saya untuk mendengar cerita mereka, namun mereka tidak pula klise menawarkan kerelaan yang dibalut ketapatan diksi. Lagi-lagi diksi.

Tidak. Mereka spontan, begitu saja mengalir, menyediakan telinga bagi saya untuk bercerita. Bagi diri mereka untuk mendengar.

Dan ternyata cukup didengar dan didengar secara cukup saja mampu mengembalikkan titik seimbang itu ke garis normal.

Saya bersyukur mereka ada.
Saya tak mau menyebut mereka dalam nama kebendaan dan kepemilikan: rekan(saya), sahabat(saya), keluarga(saya), atau diksi lain yang saya rasa (paling) sempurna.

Begitulah.
Menghayati tanpa perlu mengeja. Mengamini tanpa perlu melabeli.

Dan saya bersumpah akan tidur setelah menulis paragraf ini.

.
.
.

sdt-

Komentar

Postingan Populer