Perempuan pukul enam pagi dan percakapan enam puluh menit.


Perempuan yang bergelut dengan asap bus kota setiap subuh, melaju dalam jejak gagahnya yang tak pernah luput itu--- ia paling kaya akan aksara, sebab kehilangan senantiasa mengajaknya bicara bagai kawan lama sejak pukul tiga pagi sampai lusa. Begitu seterusnya, hingga ia lupa bagaimana rasanya terluka.

Perempuan itu memilih datang sebelum gerbang tua bergeser perlahan dengan suara decitnya yang lamban. Bajunya yang kebesaran membuatnya tampak kecil, lebih kecil dari anak kelas satu SMA. Wajahnya seperti awan yang menutup tubuh matahari dengan sabar, sampai sapaan paginya begitu nyaring dan dekat, lebih hangat dari fajar yang ia sembunyikan sepanjang jalan. Lebih lekat dari genggaman tangannya yang menenteng plastik besar berisi makanan.

Perempuan itu selalu bicara perihal orang-orang yang ia kenal, yang berjuang menempuh jalan panjang dari belahan gunung menyebrangi sungai kecil di pelosok kota, demi duduk di bangku kayu sekolah, di ruang kelas yang bolong atapnya dulu. Namun ia dengan sorot mata berapi-api berani menjamin semangat orang-orang yang dikenalnya itu tidak kalah dengan saya.

Saya.

Saya yang baru seminggu belakangan memutuskan datang lebih pagi. Pukul enam pagi sampai sekolah.

Banyak sebutan dan kisah lain yang saya dengar tentang perempuan itu.

'Dia bicara terus. Saya tak tahan.'
'Ceritanya tidak ada jeda. Saya curiga itu rekayasa.'
'Mana ada manusia yang mau berteman dengan orang cerewet seperti dia?'

Selama tiga tahun, akhirnya saya memutuskan untuk duduk berbincang dengannya enam puluh menit. Dia kelihatan "ada" dan menjadi ratu atas cerita-ceritanya saat lorong-lorong sekolah masih terasa lengang, namun eksistensinya melenyap di tengah kerumunan saat suasana sekolah mulai hidup.

Tapi ada yang tak pernah mati darinya: cerita yang ia bagi tentang kesibukannya.

"Saya gak punya waktu mbak. Pulang sekolah saya harus pimpin rapat komunitas saya di luar sekolah. Saya juga mengurus koperasi. Saya tidur jam dua pagi hampir setiap hari. Bangun jam empat pagi. Saya siap-siap lagi. Begitu terus mbak. Tapi Insya Allah saya coba berbagi sama orang-orang. Bekal yang saya punya saya bawa sepagi mungkin supaya orang yang belum sarapan bisa makan."

Saya membuka telinga saya lebar-lebar menyimak setiap kisah yang ia bagi. Saya menghemat bicara dan memusatkan seluruh energi yang saya punya pada telinga juga hati untuk lebih peka dan bersabar. Saya merunut setiap kata-katanya dengan teliti seperti hapal garis wajah sendiri.

Saya mencerna lamat-lamat, ia bicara tentang semua yang ia kenal di sekitarnya, tapi tak ada sedikitpun yang menyinggung soal rumah, soal keluarga dan kepulangan.

Ketika saya bertanya tentang keluarga, ia hanya tertawa.

"Ya semua keluarga saya mbak. Tapi ya.. kalau keluarga saya yang asli sudah 'ndak ada. Sudah pergi sejak gempa dahsyat di Jogja terakhir itu lho. Tapi sekarang saya 'ndak sendiri. Kegiatan saya banyak. Pagi-pagi saya....."

Belum sempat berkata maaf karena telah lancang bertanya soal keluarga, ia sudah kembali bercerita tentang kesibukannya. Beberapa kali ia menyebutkan aksi-aksi yang ia berikan kepada orang lain sebagai wujud perhatian dan rasa cinta.

'Ah perempuan itu sombong. Kalau mau berbuat baik ya gausah bilang-bilang dong!'

-- saya sering mendengar keluh kesah tentang perempuan itu, dan kesombongan yang diceritakan menjadi salah satu yang paling menusuk hati saya dan membuat saya ingin mengenal siapa perempuan itu.

Percakapan enam puluh menit setiap pagi di sekolah kini bukan lagi hal yang direncanakan, melainkan menjelma rutinitas yang saya nikmati.

Perempuan yang saya kenal pukul enam pagi dengan percakapan enam puluh menit itu, adalah perempuan payah yang berupaya menyembunyikan kesedihannya,  sekaligus pula perempuan kuat yang mampu menembus batas luka nya.

Benar, ia suka bercerita. Benar, ia bercerita tanpa jeda. Sedikit memberi ruang bagi saya untuk bicara. Dan benar pula ia suka menceritakan aksi kebaikannya kepada siapa saja yang mau diajaknya bicara.

Dia terus bicara.
Saya berusaha mendengar.

Saya punya jeda, dia tidak.

Dia bukan ingin selalu didengar, bukan pula angkuh karena bicara tentang kebaikan yang ia bagi.

Ia hanya membagi apa yang ia punya. Hanya cerita yang ia punya. Cerita tentang kesibukannya. Tentang orang-orang yang dikenalnya. Orang-orang yang pernah ia bantu. Orang-orang di Bantul tempatnya menetap sekarang. Bukan kisah personalnya. Bukan tentang keluarga nya.

Dan mungkin sedetik saja saat ia diam, ia benci bertemu dengan rasa kehilangan yang mengajaknya berbincang sesekali tentang dirinya dan gempa di Jogja bertahun-tahun lalu.

Maka ia memilih sibuk. Memilih larut dalam hari-hari yang mengubahnya menjadi seperti sekarang ini.

Perempuan pukul enam pagi dengan percakapan enam puluh menit.

"Semangat belajar mbak Candla. Candra. Eh Sandra."

Akhirnya ia mengeja namaku dengan benar, bahkan disaat aku belum sempat bertanya siapa namanya yang sembunyi dibalik kisah-kisahnya itu.

.

.

.sdt-

Komentar

Postingan Populer