Jangan penjarakan puisiku
Roti borobudur, sehelai dua helai
Dua hari lagi kadaluarsa, tapi ah, perut lapar tiada ingat tanggal yang tenggat
Tujuh ribu rupiah di warung Bu Nunung
Warung reot yang lampunya kedut-kedut redup, di gang sempit;
Bunga-bunga layu, kupu-kupu tak mau membaui, ia mengepak rendah di udara dan mencari kelopak bunga bagi sayapnya.
Pohon-pohon lesu, kucing enggan merayapkan tubuhnya yang gendut gendut.
Apakah tuhan mereka pelit, atau manusia di gedung-gedung tinggi memasak matahari jadi telur mata sapi?
Sampai pukul enam pagi: langit tetap malam, siang tetap malam, petang tetap malam;
Bu Nunung marah-marah, lama-lama kulitku yang jadi malam.
Hari-hari kita mungkin beranjak lalai
Bubuk susu tersisa di dasar gelas, aku lalai pula membuatnya larut
Ingin ku tengguk bersama sisa-sisa kalut
Tapi kalau masih ada sisa, korek saja pakai sendok bekas
Coba ditanam di depan kost yang tingkatnya berpuluh-puluhan, siapa tahu tumbuh pohon susu
Aku ingin merebus bulan yang sedih sebab dirinya tak lagi menjadi tanda, makna malam luntur dari giginya
Bintang-bintang tumbang jadi origami di dinding kamar anak-anak
Setiap hari, sepanjang lorong ini adalah malam.
Bulan kujadikan pengganti susu, ku tambah es batu agar gigiku ngilu dan bisa teriak: asu ngilu! Ngilu sekali, asu! Asu kau, asu bulan, asu kau yang merampas tanda dari bulan!
Apakah kau mau menengguk kedinginan ini bersamaku?
Di ujung gang suara motor meraung-raung, kebul asapnya menyapu wajah papan kayu yang bersumpah serapah: motor dimatikan, bangsat!
Bangsat, keparat!
Kau merebut matahariku,
Tapi jangan penjarakan kemarahanku, yang ku lahirkan tanpa tahu mana langit yang kau sebut pagi,
Kau penjarakan sinarku,
Jangan membual soal etika berkata-kata, ia sudah kering bersama sumur di belakang rumahku.
Penjarakan matahariku, penjarakan sinarku
Tapi jangan penjarakan kata-kata api yang ku ramu dalam puisiku!
Yogyakarta, 3 Maret 2019.
Dua hari lagi kadaluarsa, tapi ah, perut lapar tiada ingat tanggal yang tenggat
Tujuh ribu rupiah di warung Bu Nunung
Warung reot yang lampunya kedut-kedut redup, di gang sempit;
Bunga-bunga layu, kupu-kupu tak mau membaui, ia mengepak rendah di udara dan mencari kelopak bunga bagi sayapnya.
Pohon-pohon lesu, kucing enggan merayapkan tubuhnya yang gendut gendut.
Apakah tuhan mereka pelit, atau manusia di gedung-gedung tinggi memasak matahari jadi telur mata sapi?
Sampai pukul enam pagi: langit tetap malam, siang tetap malam, petang tetap malam;
Bu Nunung marah-marah, lama-lama kulitku yang jadi malam.
Hari-hari kita mungkin beranjak lalai
Bubuk susu tersisa di dasar gelas, aku lalai pula membuatnya larut
Ingin ku tengguk bersama sisa-sisa kalut
Tapi kalau masih ada sisa, korek saja pakai sendok bekas
Coba ditanam di depan kost yang tingkatnya berpuluh-puluhan, siapa tahu tumbuh pohon susu
Aku ingin merebus bulan yang sedih sebab dirinya tak lagi menjadi tanda, makna malam luntur dari giginya
Bintang-bintang tumbang jadi origami di dinding kamar anak-anak
Setiap hari, sepanjang lorong ini adalah malam.
Bulan kujadikan pengganti susu, ku tambah es batu agar gigiku ngilu dan bisa teriak: asu ngilu! Ngilu sekali, asu! Asu kau, asu bulan, asu kau yang merampas tanda dari bulan!
Apakah kau mau menengguk kedinginan ini bersamaku?
Di ujung gang suara motor meraung-raung, kebul asapnya menyapu wajah papan kayu yang bersumpah serapah: motor dimatikan, bangsat!
Bangsat, keparat!
Kau merebut matahariku,
Tapi jangan penjarakan kemarahanku, yang ku lahirkan tanpa tahu mana langit yang kau sebut pagi,
Kau penjarakan sinarku,
Jangan membual soal etika berkata-kata, ia sudah kering bersama sumur di belakang rumahku.
Penjarakan matahariku, penjarakan sinarku
Tapi jangan penjarakan kata-kata api yang ku ramu dalam puisiku!
Yogyakarta, 3 Maret 2019.
Hai Sandra, Aku kehilangan kontakmu. Kangen pengen ngobrol.
BalasHapus