Rest in Peace
.
Aku perlu satu hari untuk berduka. Tidak perlu baju hitam atau karangan bunga. Aku hanya perlu sepasang kasur yang lama tak mendengar dengkur, bantal guling yang kehilangan dekap, dan selimut di hari Jumat yang kehilangan hangat.
Aku perlu satu hari untuk berkabung. Tidak perlu ada kamu atau aku yang meninggal, sebab 'kita' sudah lama berpulang selamanya: pada keasingan, pada kesakitan, pada kebodohan. Kebodohan tentang aku yang menginginkan mayat tentang kita kembali hidup dari tubuhnya yang mati dan tersayat.
Aku hanya perlu satu hari saja untuk libur dari kerja karena kedukaan; tidak perlu ada yang mengajariku caranya menangis, karena air mata pun sudah tutup usia. Kalau air mata sudah tiada, dengan apa ia akan ditangisi?
Kata-kataku di awal puisi ini memang tidak main-main, aku hanya perlu satu hari untuk berduka. Cukup satu hari. Hari-hari berikutnya bukan hari-hari tentang aku yang bersedih. Bukan hari-hari tentang aku. Bukan hari. Bukan aku. Aku sudah tidak ada lagi. Aku sudah tidak ada lagi.
Jakarta, 10 September 2025.
.sdt-
Komentar
Posting Komentar