"Firasat.."
Saat itu firasatku serupa kepingan biji yang tergores kaca. Sangat sakit. Firasatku kian mencuap dan menjelaskan sebuah arti yang tak ingin aku pahami.
Sore itu udara sangat dingin. Udara halus kian menerpa wajah suram ku. Rintik-rintik hujan seakan tak sabar untuk turun ke bumi, dan menamatkan senyuman kepada seluruh mahluk hijau di sekitar lapangan sekolah.
Keadaan ini tak jauh berbeda dengan mata-ku. Mata-ku berbinar tak menentu. Sesekali aku melemparkan pandangan ke arah depan gerbang sekolah. Jam dinding menunjukkan pukul 15.00 WIB. Jarum nya tak pernah berhenti berdentang. Dentangan nya begitu keras, seolah mengusik telinga para siswa. Namun sialnya, ayah ku belum juga datang. Padahal,perasaan ku kali ini benar-benar aneh. Bukan hanya takut bertemu Dio, orang yang aku sukai, melainkan lebih ke arah nenek ku di rumah sakit.
Yap, betul. Minggu kemarin, nenek ku masuk rumah sakit kar'na terkena penyakit paru-paru. Ibuku berkata, paru-paru nya terendam air. Sebetulnya aku sangat asing dengan kata-kata itu. Aku berpikir, hal itu merupakan istilah kedokteran. Jadi pantas saja kalau aku tidak mengerti. Aku sempat berniat untuk menjenguk nenek ku, namun sayang nya, selama seminggu ini tugas-tugas sekolah ku begitu menumpuk sehingga menghalangi langkahku untuk pergi ke rumah sakit. Dan aku pikir, ini saat yang tepat untuk menjenguk nenek.
Nggengg,, tiba-tiba terdengar suara motor Honda dari balik gerbang sekolah. Itu pasti ayah! Yap ayah! Dan ternyata aku benar! Itu memang ayah. Aku segera berlari menuju ke arahnya. Namun tiba-tiba aku terbelalak ketka mengetahui bahwa ayah datang tidak sendirian. Melainkan bersama ibu.
"Cepat naik." ucap Ibu ku dengan suara terbata-bata. Mata nya begitu sembab. melihat hal itu, aku segera menaiki motor dan mengentikan niatku untuk menjenguk nenek di rumah sakit. Aku rasa ini bukan saat yang tepat. Akhirnya, motor honda milik ayah ku melaju dengan cepat.
Selama perjalanan, bibirku terbungkam. Aku tak sanggup untuk berkata sepatah kata pun. Saat itu aku dibonceng di atas motor honda, sedangkan ibu berada di belakang-ku.
Saat itu ayah tengah serius mengendarai motor. Sedangkan ibu hanya terdiam di belakangku, masih tetap dengan mata sembab nya. Ya Tuhan, ada apa ini? Mengapa perasaanku semakin aneh?
Pikiran ku bercabang-cabang. Aku teringat akan nenek ku. Sebenarnya aku sangat menyesal karena hari ini aku gagal menjenguk nenek di rumah sakit. Padahal aku ingin mengetahui keadaan nenek sekarang. Aku ingat betul ketika aku masih duduk di kelas enam sekolah dasar, nenek selalu datang menghampiri ku untuk membelikan aku makanan ringan dan uang jajan sejumlah lima ribu rupiah. Bukan hanya itu. Ketika sakit, nenek selalu menjaga ku dan membelikan aku kartu mainan bergambar nemo.
Tiba-tiba saja motor ayah ku berbelok ke arah Bhayangkara. Yap. Bhayangkara adalah rumah nenek ku. Sebetulnya aku sedikit bingung. Bukankah nenek ku ada di rumah sakit? Lantas mengapa ayah membelokkan motor nya ke arah Bhayangkara? Ah sudahlah. Mungkin saja nenek sudah sembuh. Dan aku dihantar untuk bertemu dengan nenek.
Akhirnya sampai juga! Kini motor ayah tengah terpakir rapi di halaman rumah nenek. Namun sepertinya ada yang beda. Saat itu rumah nenek ramaaaii sekali. Tanpa basa-basi, aku segera melangkahkan kaki ku yang mungil ke arah ruang TV untuk bertemu dengan nenek ku. Aku berjalan menuju ke ruang TV sambil menampung pandangan haru yang kian datang menatap mataku. Tiba-tiba..
Tangis ku terpecah. Kepala ku benar-benar pusing. Aku sesenggukan. Langkah ku terasa berat. Begitu pula dengan hatiku. Aku benar-benar tergampar dengan senyuman yang kulihat saat ini. Yaa. itu senyuman nenek. Nenek tampak cantik sekali saat itu. Ia mengenakan baju kebaya putih dengan rok batik berwarna cokelat. Tubuhnya terbaring kaku di dalam sebuah penampang cokelat sejenis peti mati manusia. Namun senyumnya tetap mengembang. Dengan nyaris tak terdengar aku datang ke arah nenek sambil menangis, dan berkata,
"Oma..?"
-SanDeb-
Komentar
Posting Komentar