Manusia serta Egoisme Kehidupan- sebuah pesan tersurat.



Aku rindu suasana ini. Gemericik hujan menyapu bersih jagad raya. Sepertinya kepuasan mulai mengetuk hati nurani, meski aku tahu tak lama lagi ia akan pergi bertengger dalam sarang ke-putus-asaan. Jujur, aku bosan dengan segala macam pembingkaian yang s'lalu menancap tepat di dasar hati. Mencabik-cabik kesetiaan yang tengah menggegap, meski gemuruh halilintar malam menyambar-nyambar. Ku amati kembali fatarmogana dalam naungan air hujan. Rasanya lucu menjadi air. Setidaknya menjadi bulir-bulir air cair yang setiap malam selalu menari-nari bersama kawan saat insan tengah jenuh dengan opini-nya. Merasa paling sempurna. Seakan lupa detik-detik kehidupan terus berjalan dan takkan pernah terulang. Kadang aku bertanya-tanya. Bertatap diri pada sebilah cermin tua. Mengapa aku terlahir sebagai manusia? Bukankah manusia identik dengan dosa? Mengapa harus manusia? Rasanya lebih nikmat menjadi sepercik tinta yang kian bersembunyi dalam pelukkan pena. Atau pelangi yang tiap kali menjadi komoditi manusia saat hujan kian pergi. Mungkin pula embun pagi yang tiap hari bebas berkelana menghinggapi tepi-tepi kaca, lantas menjadi sorotan penulisan yang kerap bertema percintaan. 

Lalu mengapa aku terlahir sebagai sosok berlumuran dosa? 
Tunggu sebentar. Dosa? Rasanya aku tergampar saat telinga-ku menyerap kata dosa. Aku ini manusia yang Tuhan ciptakan bersih nan suci. Lantas darimana datangnya dosa? Mungkinkah berakar dari kepahitan hati? PASTI!

Kawan, tentu kau sempat berpikiran serupa dengan-ku. Dunia ini luas, mampu menyelikkan mata kepuasan. Namun ternyata salah. Bulir-bulir hujan memang indah, namun tak lama ia akan terceraikan air mata. Atau bahkan mencipta gundah gurara. Juga tinta. Suatu saat polesan cair akan menghadang nya. Melumuri tubuhnya, hingga kedua bola mata tak sanggup meneliti jejak kedatangan nya. Lalu pelangi. Percayalah, ia akan terhapus oleh kepenatan pikiran. Maksud-ku, sekumpulan awan yang kian menghempas bayang-nya. Lantas embun pagi. Tiap pagi selalu tercelik, namun pahami kembali. Lama-lama tubuh-nya akan luntur, bahkan menjadi hantu dalam bayang-bayang siang.

Mungkin selama ini kita terlalu menyepelekan kehidupan. Memandang-nya sebelah mata, atau mungkin berupaya membunuh rasa syukur, lantas menyebarkan bibit-bibit keserakahan. 
Hidup ini sulit, bila kau pandang sulit. Hidup ini kejam, bila kau pandang kejam. Namun hidup ini indah, bila kau pandang indah! Kawan, marilah. Buang segala amarah-mu. Injak ego-mu! Tanamkan dalam hati,

"Aku bangga terlahir sebagai manusia. Dan aku berjanji akan menjadikan hidupku indah, bergelimang rasa syukur, kar'na aku percaya, hidup-ku telah terancang indah olehNya. Rencana Tuhan indah pada waktunya. Terimakasih Tuhan, Engkau sungguh baik! :)"

-SanDeb-

Komentar

Postingan Populer