....../

Suatu ketika di pinggir rel kereta api..

Kali ini saya belajar seperti seekor burung berbulu tebal
Yang selalu setia menanti kepulangan ibunya di dalam bilik sarang
Hanya saja saya menanti masih seperti manusia biasa
Yang terus melepas suara-suara aneh di tepi jendela kaca

Gesekan demi gesekan menghampiri telinga. Saya melihat berapa belas kereta api seperti saling berkejaran dan tak akan pernah bertemu. Saya terus mengamati bagaimana kaki-kaki orang tua turun secara bergantian, lantas bergandengan tangan dengan langkah yang gemetar. Saya tetap menanti di sudut stasiun kereta api.

Saya sempat mengira lelaki berambut pendek hitam adalah kamu, ternyata bukan.
Saya juga sempat mengira lelaki berkacamata adalah kamu, ternyata hampir.

Sesekali saya tertawa, karena saya tidak percaya terhadap apa yang ada di dalam pikiran saya. 

Andai saja kamu tahu, bagaimana rasanya menanti sosok yang sama sekali tidak saya tahu. 

Sekarang ini hanya ada satu nama di kertas usang putih milik saya. Saya terus mengingat bagaimana suaramu berdengung melalui kabel telepon rumah sakit. Saat itu saya masih bekerja sebagai seorang dokter, dan kamu bilang kamu ingin bertemu dengan saya karena sebuah penyakit.

saya memejamkan mata

Saya suka gaya duduk diam seperti ini. Karena dengan begini, saya bisa melebarkan sayap, dan bisa berimajinasi dengan luas, membayangkan wajah-wajah tampan sesuka saya, atau cerita yang hujungnya bahagia. 

tapi tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundak saya dari belakang

Saya terkejut melihat sosok laki-laki tegap dengan wajah asing berdarah asia menghampiri saya sambil menunjukkan wajahnya yang ceria. Saya menjabat tangannya, dan kami sempat berpelukan dalam pandangan. Merasa seperti melompat di udara, cepat-cepat saya tanyakan apa yang menjadi tujuan utamanya.

"Baik, siapa yang sakit?"

ia diam sejenak.
 
 
 
tak lama kemudian, ia menunjuk seekor anjing yang ada di sampingnya.



.sandeb-

Komentar

Postingan Populer