entahlah.
.
Sedih rasanya ketika kita
tersugesti dengan apa yang kita percaya. Kita termakan teori yang kita pikir
punya usia panjang. Seolah-olah apa yang kita pertahankan dan kita pupuk adalah
apa yang akan persis tumbuh sesuai sketsa kita. Saya pernah mengalami itu. Saya
mengiyakan segala hal yang saya pikir abadi. Saya pikir akan tetap lurus dan
sama, termasuk soal perasaan.
Orang-orang yang saya jumpai
selama tiga tahun ini, beberapa diantaranya memiliki ketetapan dan kepercayaan
penuh pada apa yang mereka pikir rasa. Bukan hanya seorang atau dua orang. Saya
bilang banyak (dan saya pernah menjadi salah satu dari antara mereka). Banyak
yang berpikir bahwa rasa yang mereka kira nyata, lupa mereka rasai. Hingga ketika
mereka jalani, ternyata itu hanyalah bibit yang bukan rasa, melainkan embrio
dalam pikiran mereka yang akan melangkah sampai batas kekaguman lalu berhenti.
Namun masih setia mempercayai. Mempercayai bahwa itulah rasa. Itulah keberadaan
yang mereka cari.
Bukankah hidup banyak penjebakkan? Penjebakkan dari apa yang kita lahirkan sendiri?
Mereka menolak dan menghindar
dari diri sendiri. Mereka lupa bagaimana rasa yang sesungguhnya. Mereka lupa kalau rasa juga hidup dan bergerak. Rasa
berubah. Lebih dalam menyelami kepecahannya, bergerak menuju dasar dan
permukaan, atau justru mewujud jadi sesuatu yang klise namun lebih punya
kekuatan dibanding segala hal yang kita juarakan karena tidak klise.
Lalu?
Bukan tanda yang membawa kita,
tetapi udara. Pergerakannya membuat kita paham bahwa hidup tak hanya lepas
mendarat di arena bulatan kecil jam tangan. Jam, menit, detik, bagi saya
bukanlah waktu, melainkan tanda.
Rasa kehilangan yang kita pikir
bukan, hanya karena menyalahi jalur yang kita patenkan sebagai sebuah
kepercayaan, menorehkan luka dan tanda tanya besar dalam diri kita.
Lucunya, kita pikir itu sebuah
akibat dan salah dari orang lain.
Itulah mengapa jujur ada. Mengapa
kata “setia” jaman sekarang betul-betul melenceng dari isinya. Semua hanya
kulit. Sekali pandang. Sekali gigit dan pahit. Betapa “setia” menjadi tembok
besar yang tak punya celah bagi kejujuran.
Termasuk setia pada kepercayaan
yang kita pikir tak pernah berubah sampai detik ini.
Sampai kita
lupa bahwa perubahan akan terus menjadi anak kecil.
Yang lincah dan selalu bertumbuh.
*
.sandeb-
Komentar
Posting Komentar