satu s-a-t-u

Beberapa hari ini pening menjadi guru bagi kesadaran; bukan petuah atau nasihat bijak yang membongkar seisi tubuh lengkap dengan tumpah ruah emosi. Pening dan ketidaksanggupan memahami alur emosi dan ketahanan fisik sendiri justru membuat saya sadar bahwa saya bukanlah satu, manusia bukanlah satu, kita hanya kesatuan dari banyak sisi yang membuat kita seolah-olah adalah satu. Begitu banyak energi yang mengalir di muka bumi dan tidak seluruhnya positif. Beberapa minggu ini, energi yang tidak hanya satu itu, merasuk dalam raga saya dan memecah kesatuan yang sedari dulu dipercaya dalam diri saya sebagai 'satu'. (utuh, seluruh)

Saya merasa pening. Paradoks dalam diri saya seperti sepasang kekasih yang baru menjalin asmara dan berkencan setiap hari. Tangis dan tawa, kecewa dan percaya, tiada garis pemisah diantara mereka dan saya tak bisa memilih salah satunya, sebab mereka ada untuk satu emosi, satu alur keseimbangan, bukan mengadakan yang lain untuk membuktikan bahwa diri sendiri ada. Mereka tampak kekal dalam perbedaan sekalipun menyakitkan bagi saya sebab saya terjebak dalam arena menikmati ketidaktahuan akan perasaan saya sendiri.

Dalam kesakitan ini, saya tetap merasa, abu-abu tak selamanya buruk. Sebab nyata tidak selamanya ada, dan yang ada tidak selamanya nyata. Sekalipun saat ini paradoks yang menjelma zona abu-abu dalam diri saya sedang berpesta dan membuat saya hampir kehilangan napas, saya kira tak ada salahnya menerima.

Dari rasa pening ini saya belajar menerima.
Me-ne-ri-ma.
Terima.
Saja.

Terima saja.

Sebab 'satu' yang berputar dalam diri dan emosi saya belakangan ini ternyata bukanlah satu yang tunggal, tetapi 'satu' yang melebur dari jutaan, atau bahkan dari dua yang saling bertentangan tetapi memilih untuk berkencan.





Dan bertahan.







Entah sampai kapan.








.sdt-

Komentar

Postingan Populer