Catatan kepada seorang kawan

Aku menyebutnya perempuan tak berujung. Malam ini usai mematikan lampu belajarnya, percaya atau tidak-- ia hanya berbaring dan menghabiskan semalam suntuk, meluapkan seluruh energi yang dimilikinya demi menjaga sebuah nama: ejaan yang mampu meluluhlantakkan segenap pertahanannya. Ia mengirim pesan padaku suatu waktu:

Perasaan itu sulit.
Sangat sulit rasanya untuk melepas, Sandra.

----------

Aku tak tahu apa yang harus aku katakan.

Selama ini, aku bersumpah demi detak jarum jam dan monolog yang kumiliki kini, aku berkata benar bahwa segala yang ada dalam ranah pembicaraannya hanyalah rumus-rumus fisika dan kimia; selebihnya bagaimana kita menjaga hidup kudus. Ia menyimpan rumah dalam dirinya yang bisa dikunjungi siapapun dan kapanpun. Pintu dan jendela yang selalu terbuka. Aliran udara sejuk dan nyaman. Dinding rumahnya dipenuhi lukisan yang terbingkai rapi, berbagai macam sketsa yang tertata manis, dengan alur klise namun mendamaikan. Ia membuat setiap orang yang berkunjung ke rumahnya seolah-olah mendapat undangan khusus kemarin malam untuk tiba dan bercengkrama.

Namun ada satu lukisan di dekat pintu masuk yang membuatku terperangah:

Lukisan ekspresionisme dengan garis tipis abu-abu tak berbingkai.

Aku bertanya: mengapa kau letakkan ia di sana?

Perempuan itu menjawab: itu lukisan yang belum sanggup ku lepaskan dari dindingku.

Aku menawarkan diri untuk membantunya. Barangkali lukisan itu sangat berat dan lebih ringan jika dipindah bersama.

Namun lagi-lagi ia menjawab:
Aku mohon jangan secepat itu, Sandra. Lukisan itu tidak berat, ia hanya berbobot dan berharga, sulit kujelaskan. Dan aku belum menemukan tempat terbaik setelah dipindah. Tak akan sekalipun ku simpan lukisan itu di gudang.

---

Laki-laki yang ia cintai dan mencintainya sejauh yang ku tahu ialah: ayah dan sahabat laki-lakinya.

Kalau ia bohlam lampu yang masih baru dan awet, keluarga dan sahabatnya ialah energi yang mampu membuatnya menyala begitu terang, namun sesekali memilih untuk redup, amat redup, bahkan mati dan gelap barang sejenak.

Ia mampu beristirahat dalam lelahnya.

Namun belakangan ini aku sadar ada energi baru dalam hidupnya yang datang dengan langkah rapi tertata, membuatnya perlahan menyala konstan, tak begitu terang, tak sanggup menjadi sangat terang, namun tidak remang, tidak pula redup, pun gelap.

Ia hanya menyala dengan konstan. Menyala dengan cukup.

Energi itu --- laki-laki itu --- datang dalam hidupnya dan membuatnya merasa cukup.

Bukankah tak ada rasa yang lebih damai dari rasa cukup itu sendiri? Tidak lebih atau kurang satu senti pun.

Laki-laki itu, abu-abu tipis ekspresionisme, lukisan yang enggan dipindah dari dindingnya,

Perlahan pamit dari rumahnya dan mengambil segala cukup yang ia punya.

Kini aku tahu mengapa ia mengirim pesan kepadaku:

Rumahku pengap.
Aku ingin menangis pada udara.
Sejadi-jadinya.

Sekalipun ku lihat pekarangan yang begitu hijau dengan pohon rindang di kiri-kanan rumahnya.

Yang aku tahu ia merasa pengap.
Sebab cukup lenyap, dan hatinya kini tersekap.

----------

Laki-laki yang hadir dalam hidup perempuan itu, kawan baikku, tidak mengambil lebih atau kurangnya.

Ia mengambil segala cukup.

Dan itu sanggup membuatnya limbung.

Aku kemudian membalas pesan darinya:

Kawanku, aku tahu tak ada yang mudah dari menggenggam dan melepas. Namun belajarlah perlahan seperti engkau bernapas, tak mungkin selamanya engkau menghirup dan memiliki, ada pula waktunya engkau menghempaskan udara dan membiarkannya lepas, sedikit-sedikit, supaya engkau tetap hidup.

Ya, begitulah.
Tetaplah semangat, sekalipun cukup yang kau punya kini tiada.

Kau mampu mencipta rongga baru dalam dirimu asalkan kau punya kerelaan untuk melepas apa yang kau punya sejak lama.

Percayalah,
Doaku menyertaimu.
Tetaplah menjadi rumah yang teduh itu.

----------------------------------

Catatan di suatu malam untuk kawanku.

Selamat berpesta dengan sunyi.

Dariku,

sdt.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer