Menyaksikan Bumi yang Kerdil

Melihat bumi yang kerdil membuatku mabuk dan hampir mati, sayang. Sebab ia yang kecil sungguh menyulap sendi-sendiku ngilu dilindas  keganasannya. Mungkin lebih aman aku menginjak sepertiga dada bumi sambil merapal mantra kalau ia sungguh besar; ubun kepalaku hanya batu kerikil yang jatuh merosot ke lengang jurang hingga terkikis seluruh bayang.

Melihat bumi menjadi kerdil bagai bersumpah serapah: aku tak ingin melihat bumi menelanku tanpa pretensi. Aku ingin terkikis saja; hilang perlahan bersama wujudnya yang kecil dan pening, menyeretku menjadi genap dalam keganjilanku selama ini.

Bumi yang kerdil itu tampak buas, ganas, bukan lagi besar dan hangat bagai peluk seorang ibu.

Bumi yang ku rindukan hanya selapis tabir yang dulu mendekapku dalam gelap, menikmati hidup tanpa harus mengerti apa yang ku raba, ku hirup, ku harap, ku telan, dan ku teguk. Asa menjadi satu-satunya yang ku tahu dan ku amini, hingga nyawa waktu dalam hitungnya sendiri melahirkanku selepas sembilan bulan: dalam wujud bayi yang mengerti bahwa ini bumi, ini keajaiban yang kelak menjadi ruangku bergerak. Ini bumi. Ini bumi, sayang, tempat asa bukan lagi realita, bagai kawan lama yang asing dan murka. Asa menjadi lamban. Mereka kini serupa lawan.

Menyaksikan bumi yang besar dan pulas menjadi kerdil dan ganas ternyata mampu menyisakan bias. Ia sungguh menyiksa, sayang, meminjam udaraku begitu lama. Aku sesak, kelak. Tercekik aura pelik. Tercekat sorotnya yang karat.

Mengerdilkan bumi sungguh ngeri.
Aku memberitahumu sekali lagi.
Sungguh bukan pena atau aksara yang ku perlu kini

Mengerdilkan bumi,
Tak perlu menghirup udara semesta dan pergi ke luar angkasa.
Cukup duduk di atap tua rumah kita.
Dua pasang kaki bergelantungan dan wajah jengah menatap langit.
Aku binasa, saat detik terakhir ku palingkan wajah dan

Dari sorot matamu,
Aku lihat bumi yang kerdil itu.

.sdt

Komentar

Postingan Populer