Oktober

Satu hari sebelum ulang tahunmu, aku pulang jauh lebih pagi. Jalanan hari ini terasa ganjil, tampak lengang dari biasanya. Lampu jalan lupa dimatikan. Cahaya kuning emasnya beradu dengan terik yang diiringi gerimis kecil. Aku melangkahkan kaki dan mendengar hentakkan sepatu milikku sendiri. Cuaca hari ini tampak berpunggungan. Aku tak bisa menebak suasana hati semesta kita, satu hari sebelum ulang tahunmu.

Persis satu hari sebelum ulang tahunmu, aku berpura-pura lupa. Aku pergi melepaskan segalanya : tertawa paling keras, menangis paling sedih, berlari paling jauh, dan kembali paling pagi. Sampai ku dapati diriku sendiri bagai gelas kosong yang menggigil setelah diisi bir-bir malam dan hingar bingar pesta. Aku tidak mabuk, sayang. Aku hanya pura-pura lupa kalau besok adalah hari ulang tahunmu.

Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa begini sejak dulu, sejak tahun 2012, empat tahun lalu saat aku diam-diam menjagamu lewat doaku.

Sebab sejak dulu aku hanya pernah menyimpan satu nama yang membuatku jatuh berkali-kali sampai lelah sendiri, lalu bangkit kembali dan menyayangi sekali lagi, sekali lagi, sampai hari ini.

Ya, sampai hari ini. Sampai hari itu, pada waktu itu, tepat di hari ulang tahunmu, jalanan tampak ramai seperti sediakala. Lampu jalan sudah dimatikan. Aku tak dapat mendengar langkah kakiku sendiri. Cuaca sangat panas dan kering. Ingin rasanya aku membunuh ingatan dalam kepalaku sendiri sebab lagi-lagi aku tak bisa lupa hari ulang tahunmu. Aku ingin menghitung tetes gerimis kemarin namun aku gagal sebab tanggal itu telah menjadi ingatan sakral yang membuatku bersyukur setiap hari, bahwa pada tanggal itu, telah lahir seorang laki-laki yang kukasihi dan membuatku belajar mengasihi lebih dekat. Menyayangi tanpa perlu bicara apa-apa lagi. Laki-laki yang telah mengajarkanku cara mengasihi tanpa balasan. Laki-laki itu membuatku lebih hidup, lebih bersemangat menjalani hari-hariku selama ini.

Di hari ulang tahunmu, di dini hari, aku berdoa menyebut namamu seperti yang ku jalani empat tahun ini. Rasanya masih sama, masih terus merasa engkau ada. Aku tahu Tuhan pun terjaga di hari ulang tahunmu, mendengar doaku.

Namun persis di hari ulang tahunmu, engkau menghilang.
Aku tidak mencari.
Aku menahan diri untuk mencari.
Aku merasa di hari ini, keberadaanmu yang seharusnya menjadi ramai bagi jalanan itu, kini menjadi gersang yang berkepanjangan.

Diriku bukan lagi gelas kosong yang menggigil kedinginan. Gelas itu sudah retak dan sedikit lagi tak karuan.

Tapi yang ku lakukan sepanjang hari saat kau menghilang adalah bermain ayunan. Aku menikmati diriku yang gelisah dan kehilangan. Aku menerima setiap tanya tanpa peduli jawabannya. Aku mendengar suaramu di bunyi-bunyian ayunan tua ini. Aku melihat wajahmu dimana-mana, sampai dini hari aku terjaga kembali, terus berharap ada sekilas kabar tentangmu yang menyiratkan bahwa kau baik-baik saja.

Tapi apa daya, tak ada. Aku kembali terjaga. Melihat ucapanku seperti surat yang dikirimkan pada kotak oranye di halaman rumah yang tak berpenghuni. Aku menangis sekali lagi membayangkan ada sesuatu yang buruk terjadi padamu. Aku terus begitu, sampai tiba-tiba :

Semesta bagai mengirim hujan deras pada hatiku yang kemarau.

Satu hari setelah ulang tahunmu, satu hari setelah dua malam aku terjaga dan berbohong kepadamu kalau aku hanya terbiasa bangun pukul lima,

Engkau kembali dan baik-baik saja.
Itu sudah lebih dari cukup.

Aku lega.
Aku baru bisa tidur sekarang.

Terimakasih untuk tetap menjaga dirimu dengan baik.

.sdt

(Catatan di suatu pagi)




Komentar

Postingan Populer