Perahu dan Labuan

Aku pernah berkata bahwa aku adalah perjalanan, maka sejak saat itu aku tahu aku hanya dinikmati sebagai ombak yang membuatmu ada, sebab bongkahan besi ataupun kayu belum resmi diakui sebagai perahu jika belum menerjang laut biru. Aku mengerti tempat yang kau tuju adalah labuanmu, bukan ombak biru. Namun engkau harus melewati aku sebelum tiba di labuanmu. Maka dari itu aku tahu aku hanya dibutuhkan sebatas perjalanan, sebagai penyanggah, sebagai pelengkap dan bukan tujuan. Aku mungkin mengerti sendu dan bahagiamu, setiap detail yang terjadi atasmu, sebab ombaklah yang memeluk perahu dalam perjalanannya. Engkaulah perahu itu. Bagaimana bisa ombak dan perahu tidak berbagi jika seluruh perjalanan melekatkan mereka? Akulah si ombak biru. Mereka kira bisa saja aku menenggelamkanmu sewaktu-waktu, namun engkau tahu itu bukanlah aku. Hatiku tak akan sanggup melakukannya. Aku hanya ingin mengantarmu dan memastikan kau tiba di pesisir yang tepat.

Intuisiku berkata kau merindukan labuan. Kau merindukan daratan dan tidak menginginkan ombak biru.

Sebesar apapun cinta ombak kepada perahu, yang dirindukan perahu tetaplah labuan itu.

Kelak saat kau kembali ke labuan, aku akan kembali bergelung, mundur dari pesisirmu, mengikhlaskanmu dengan labuan yang kau rindu.

Lalu aku kembali berisik,

sendiri dalam biruku.



.
.


.sdt-

Komentar

Postingan Populer