perempuan tanpa koma

Tiba-tiba saja aku ingin telingaku menjelma ruang kedap suara yang meredam segala bunyi, memeluk pekik frekuensi yang menyayat hati, merebahkan suara-suara itu pada dadaku dan kudekap menjadi nyeriku sendiri.

Aku ingin ruang kepalaku menjelma angkasa tanpa udara, membuatku lupa betapa ringannya bernapas dalam asa, begitu mendebarkannya hidup dalam bayang prasangka.

Aku ingin merombak kata-kata, menjadi pelacur aksara yang mati rasa pada makna, sebongkah diri yang disematkan label harga.

Aku ingin merebahkan diri pada segala bentuk kemungkinan, bagai pelukis yang menyerahkan hidupnya lewat lembar kanvas yang menawarkan keberdayaan: lewat warna, gradasi, makna, dan sisa-sisa goresan.

Mungkin saja, aku hanya dinilai sebatas sentuhan yang kusadari untuk kuserahkan, pula pada indera dan rasa malu yang melekat dalam identitas demi menjadi aku.

Aku ingin menjadi perempuan tanpa tanda koma, wanita yang tak lagi merasa untuk apa tubuhnya ada: etika, atau kepentingan semata.

.sdt-

Ditulis ketika ucapan paling menyesakkan soal kedudukanku sebagai perempuan telah dilontarkan oleh orang yang ada dalam lingkaranku; mengingatkanku pada tokoh Firdaus dalam Perempuan di Titik Nol yang mencapai kebahagiaan tertingginya justru ketika seluruh manusia di muka bumi seakan ingin menariknya dari sana.

Komentar

Postingan Populer