Rumah Separuh Jadi

Kupersembahkan kisah milik kawanku, K.

Aku tidak menjumpaimu dalam peta. Simbol jalan raya dan garis patah-patah tak berdaya menemukan kehilangan. Peta amat payah melacakmu yang memang menolak ditemukan. Jalan beraspal dan rel kereta, adakah yang rebah dalam ingatku selain seratus dua puluh menit bersamamu di atas mesin sepeda, bergurau menerka cuaca dan kepulangan? Kita sama-sama memiliki satu kota dalam definisi tak terhingga, bukan?

Aku suka menerka isi kepalamu: refleksi, tanya, dan metafora yang menjelma sorot mata atau kikuk malu yang dulu menyelimuti ubun kepala hingga ujung kaki, selalu, setiap detik aku bersamamu. Deham gagah kereta kian redam dalam deham suaramu yang menyulapku untuk melulu berseru ingin tahu: adakah tempat bagiku yang mungkin menjelma asa dan kemungkinan bagi perjalanan kita menyatu dan menemukan kehangatan?

Senyatanya, mungkin aku hanya mencintai imajiku sendiri. Perjalanan kita adalah rumah separuh jadi yang lupa kuberi pintu sadarku, hingga engkau berlari dari ruang asaku, dan memilih memulai perjalanan baru dengan seorang yang ku tahu. Aku, cukuplah di beranda. Atau sesekali berjalan saja, tanpa perlu mengejar engkau kembali dalam realita.

Namun, entah apa yang paling ku rindukan saat ini: kota tempat kita berpulang menamatkan resah, atau ruang sepanjang jalan bersamamu yang bagiku sempat menjelma rumah?

Bagiku. Ya, bagiku.
Setidaknya cukup bagiku.



---


.sdt-

Komentar

Postingan Populer