Surat untuk Paruh Waktu yang Lain


Halo.

Aku sedang sedih dan kangen sekaligus.

Patah hatiku, ternyata sesederhana kerinduanku pada alunan lagu-lagu khas paroeh waktoe. Nada piano yang bercium - ciuman dan jari-jari seorang lelaki yang menari, di atas tuts, di tengah keresahan dan kemabukan; kebahagiaan dan kekeliruan. Lantunan bait yang getir seringkali dimainkan dalam lentur lengking bunyi saxophone, tersimpan di jarak-jarak senar gitar yang samar dan dentum perkusi yang mengangkat dan menjatuhkan perasaan yang bertaut-tautan. Aku sungguh merindukan panggilan untuk Deborah, dalam kesunyian seorang yang berdusta pada bulan -- ya, speak lies to the moon.

Aku merindukan kreasi yang selalu memberi ruang bagi hatiku untuk membuang yang petang dan mengundang yang hilang. Kepada paroeh waktoe, belum pernah aku merasa ada sebuah rongga dari tiap remang yang dinyanyikan seorang perempuan. Rongga itu, seperti paru-paru dari lagu yang menyimpan udara tentang peringatan-peringatan, dan ingatan-ingatan, dan umpatan-umpatan, dan kekesalan, dan kekalahan, bahwa diri kita seringkali terjebak dalam kabut yang membuat kalut, saat kita mencintai terlalu sungguh dan seluruh -- aku menaikan volume saat Misty dilantunkan ulang oleh paroeh waktoe.

Dan, se-paroeh-waktoe- itulah yang selalu kurindukan saat berbaring sendu di atas kasur, atau duduk di teras dengan headset memutar keindahan dari platform yang merangkum keajaiban dari paroeh waktoe yang lain. Tidak banyak yang aku tahu, hanya mungkin, dalam anggapku atau khayalku, seorang pemuda telah jatuh cinta pada suara indah yang mengisi paroeh-waktoe miliknya, atau seorang perempuan yang menghidupi kegembiraan saat cinta pernah bersemayam lewat minor-mayor piano yang menjadi tuan dalam paroeh waktoe-nya. 

Tapi, sekali lagi, tidak banyak yang aku tahu. Aku hanya menerka-nerka bahwa mungkin persisnya, setelah kalian sama-sama memilih suara-suara yang lain, entah itu panggilan untuk menyapa nyanyian alam atau kembali mengais perasaan lewat sebuah kesempatan untuk bergabung dalam rongga-rongga baru yang lebih besar, aku.. Aku masih disini. Masih setia di sini, menimang kerinduanku pada paroeh waktoe yang menjadi sunyi sepi, namun selalu ramai dalam jejak-jejak yang bisa ku simpan rapat-rapat di telingaku. 

Aku tidak boleh egois, sebab kalian semua pun, berhak memiliki paroeh waktoe yang lain, paroeh waktoe yang berlainan dalam hidup kalian. 

Aku hanya ingin menuliskan dalam surat ini bahwa sukar bagiku untuk berpaling ke lain hati. Memang segalanya hanya menjelma bentuk yang paling indah dan sakral saat menjadi 'cukup'. Dan kehangatan seringkali semakin terasa saat jeda masih tercipta, sebab kerinduan dan kekaguman akan semakin menjelma bentuknya yang paling sempurna, justru ketika kita berjarak pada hal itu; pada sosok itu; pada waktu itu. Dan, disinilah aku menuliskan surat sebagai tempat aku berjarak, sebagai muara dari rasa cukup.

Dan, ya benar, mungkin aku sudah lama menanti-nantikan nyanyian kalian yang lain, bisa saja sekedar menyapa satu sama lain dan bertukar kabar dari paroeh-waktoe kalian yang ku rindukan untuk kembali berada dalam satu meja. 

Atau, surat ini hanya harap-harap saja, dan kegagapan dari seorang asing yang tidak pernah tahu apa-apa tentang kalian, selain dari rongga-rongga itu, rongga yang tercipta lewat lagu-lagu indah kalian, rongga kering yang saat ini tengah sesak dengan kekosongan. 

Aku tentu bukan siapa-siapa, tiada istimewa dan mungkin surat ini pun tak layak dibaca. Namun bagaimanapun kalian sekarang dan apapun yang kalian kerjakan;

ketahuilah bahwa ada seorang yang telah menjaga waktoe miliknya agar tetap menjelma se-paroeh. Tidak utuh, tidak penuh. Agar dengan demikian aku masih tetap bisa mengingat kalian.

Terimakasih.

:)

Komentar

Postingan Populer